Arus Beriak Pendidikan Nasional
Apa yang sebenarnya dituju pendidikan nasional kita? kesejahteraan kah? kejujuran atau makna hidup lainnya?. Namun pada kenyataannya banyak yang sejahtera meski sekedar lulus SMP, anak TK bahkan lebih jujur dibandingkan jenjang jenjang pendidikan diatasnya. Lalu apa gerangan yang dituju pendidikan nasional yang berjenjang itu?. Pada minggu 16 Januari 2022 Prof. Imam Suprayogo menjawab sepenggal tanya di atas. Jika yang dituju adalah kesejahteraan, lantas bagaimana dengan Bu Susi Pujiastuti? yang sukses dan sejahtera selaku menteri kelautan RI meski hanya lulusan SMP. Lain Susi di Indonesia, lain pula Susi di Maroko, salah satu Provinsi di Maroko tersebut diketahui memiliki warga yang jarang lulus sekolah bahkan sulit bagi kita menemukan warganya berijazah S1, SMA bahkan SMP sekalipun. Setelah selesai menempuh pendidikan tingkat SD sederajat, dan menguasai baca tulis, hitung dan bernyanyi, banyak anak-anak di provinsi Susi yang berhenti sekolah, mereka mencari seseorang yang sukses sebagai panutan, mereka mencari pekerjaan dan pengalaman sesuai minat dan bakat yang mereka miliki lalu berguru pada orang-orang yang ahli pada bidangnya. Maka jadilah Susi sebagai provinsi dengan angka pengangguran dan tingkat kemiskinan yang rendah meski jarang dari mereka yang lulus sarjana toh mereka sukses menciptakan masyarakat yang sejahtera.
Cerita yang dikisahkan oleh mantan rektor UIN Malang ini menjadi tolak ukur dan cermin bagi pendidikan nasional kita, bahwa hari ini jarang bahkan sulit kita temui warga kita yang tidak bersekolah, gelar sebelum dan sesudah nama tentara begitu panjang, berbagai gelar disandang. Namun implementasi dan substansi bagi masyarakat dan lingkungan masih sangat minim, padahal ilmu yang didapat seharusnya tidak hanya untuk menambah gelar, namun bagaimana agar ilmu yang dimiliki dapat memberi manfaat bagi sesama dan semesta. sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”
Lalu bagaimana kita dapat berilmu dan bermanfaat? tentu butuh mengemban pendidikan lalu berkiprah di masyarakat. Tapi dari mana kita berangkat? dari mana kita memulai?.
Jawabannya ada pada hati, dewasa ini banyak kita temukan fenomena sulitnya mengajari dan menasehati anak-anak bahkan orang dewasa sekalipun. Keringnya hati membuat sulit diajari, hingga terciptalah masyarakat yang liar. Keringnya hati tak lain disebabkan oleh kurangnya asupan ruh sebagai stabilisator, sehingga keras dan dan bebas tak terkendali, untuk itu penting menciptakan pendidikan yang tak hanya mengacu pada kurikulum dan buku, karena apa yang biasanya ditulis di buku adalah apa yang dilihat, sedangkan sesuatu yang dilihat terkadang tidak komplit jika hanya ditulis dan dibaca, perlu dialami dan dilakukan pergerakan, perlu adanya implementasi dan pengalaman terhadap ilmu yang didapat agar kemudian mampu memberikan manfaat.
Prof. Imam yang telah menjadi rektor selama kurang lebih 40 tahun ini juga mengatakan; dengan usianya yang masih belia, STIES Riyadlul Jannah telah membuktikan hal tersebut pendidikan kontekstual dan praktek di lapangan menjadi kurikulum pendidikan sesungguhnya. Dengan didikan ruh dan jasad yang seimbang terciptalah generasi dengan kepribadian mantap, hingga tak hanya berilmu, seluruh Mahaputra dan Mahaputri dituntut untuk mampu beramal maksimal dan memiliki kemanfaatan yang mempuni baik bagi sesama hingga semesta. Hal ini dapat dilihat dari proses kehidupan sehari-hari para Mahaputra dan Mahaputri dari bangun tidur hingga tidur lagi. Sebagai seorang hamba Allah dengan benar benar menghamba, malam-malam dilalui dengan shalat, dzikir dan wirid sedangkan siang hari di lewati dengan belajar dan praktek lapangan.
Sebagaimana firman Allah SWT. dalam Quran surat Al-Baqarah ayat 30:
Dan (ingatlah) ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat sesungguhnya aku hendak menjadikan khalifah di bumi.
Sebagai khalifah di bumi, kita dituntut agar mampu mengelola bumi dengan baik, hal ini diperkuat dengan tanah kita yang subur dan memiliki kekayaan yang melimpah, daratan kita hijau terhampar dengan lautan biru membentang sejauh mata memandang. Maka sudah seharusnya bagi kita sebagai seorang mahasiswa dan warga Indonesia mengelola negeri ini melalui pendidikan nyata sebagai bentuk rasa cinta tanah air. Seperti penggalan syair kebangsaan yang dicetuskan oleh KH. Mahfudz Syaubari:
Cinta tanah air harus mengembangkan. Berdiri sendiri dan mempertahankan. Lautan kita luas dalam nan lepas. Subur tanahnya macam-macam isinya. | Kekayaan alam di berbagai bidang. Daulat kebangsaan dan kenegaraan. Ayo dijaga biar tidak terampas. Ayo dikelola dengan sia-sia. |